Berita politik tanah air minggu ini kembali
hangat dengan Keputusan PAN untuk mengalihkan dukungannya dari KMP ke
KIH. Terlepas dari alasan apa yang dipilih para petingginya, sungguh
keputusan ini tidak membuat saya heran.
Menilik beberapa catatan
saya (sok2an jd pengamat parpol) konsistensi PAN dalam mendukung
sesuatu bisa dikatakan rendah. Yang perlu diperhatikan di sini, memiliki
konsistensi rendah bukan berarti partai tersebut buruk lho.
Pemilu 1999 sebagai pemilu legislatif pertama di era reformasi
menghasilkan urutan 5 besar sbb: PDIP sbg pemenang, disusul Golkar, PKB,
PPP, dan PAN. Masih ingat dalam ingatan saya, salah satu stasiun TV
tanah air menyiarkan pemilihan ketua MPR dan Presiden secara langsung
(waktu itu pemilihan presiden masih menggunakan voting di MPR). Di depan
kotak tv berwarna 21 inchi, saya dan almh ayah saya menonton langsung
pemilihan tersebut. PDIP, PKB, PAN merupakan trio parpol reformasi yang
pada waktu itu bisa dikatakn bersahabat dekat. Sehingga ketika pemilihan
ketua MPR terdapat nama Bapak Amien Rais, saya lgsg berkeyakinan Pak
Amien akan menang. Ya, prediksi saya, selain mendapatkan suara dari PAN,
suara PDIP, PKB jelaslah bulat diberikan utk pak Amien Rais. Hal ini
juga didasarkan pada kondisi, PDIP mengincar posisi presiden sedangkan
PKB tidak punya figur selain Gusdur. Dan hasilnya sesuai prediksi saya,
pak Amien mendapatkan kursi ketua MPR.
Setelah pemilihan Ketua
MPR selesai, dilanjutkan dengan pemilihan presiden. Dan pada kejadian
ini PAN melalui bapak Amien Rais mulai bermanuver dengan menghadirkan
poros tengah dan mengusulkan Gusdur. PKB sbg tempat bernaung gusdur
menolak mentah2 usul tersebut. Namun, poros tengah tetap maju dan
mencalonkan gusdur utk beradu dengan ibu Megawati. Situasi ini jelas
tidak menguntungkan PDIP. Golkar sebagai pemenang kedua jelas lebih
berpihak ke gusdur. Maklum, pada waktu itu PDIP dengan Megawatinya
merupakan perlambangan perlawanan rakyat kecil terhadap Orba. Sedangkan
suara PKB tidak lagi bulat untuk diberikan pada Megawati. Hasil voting
menempatkan gusdur sebagai presiden.
Belum genap 3 tahun Gusdur
memimpin, prahara kembali terjadi. Kasus Bruneigate mengantarkan Gusdur
keluar istana. Kembali kesolidan trio parpol reformis ini dipertanyakan.
Ditolaknya pertanggungjwaban gusdur meskipun kejagung sdh menerbitkan
surat tidak terlibatnya gusdur dalam kasus ini disinyalir juga karena
manuver pak amien dan PANnya. Lagi2 konsistensi pak Amien dan PANnya
dipertanyakan
Pemilu 2014 menghadirkan pasangan capres Pak Jokowi
dan JK berhadapan dengan Pak Prabowo dan Hatta. Dengan perolehan suara
yang tidak begitu besar, sungguh suatu berkah ketika Hatta dari PAN bisa
menjadi cawapres. Meskipun akhirnya pasangan ini kalah dengan pak
Jokowi dan JK, namun PAN masih mendapatkan suatu keberkahan bergabung
dengan KMP karena mendapatkan kursi ketua MPR.
Kongres PAN ke IV
yang menghadirkan Zulkifli Hasan dan Hatta Rajasa sebagai calon ketum
benar2 berlangsung mendebarkan. Kekalahan 6 suara saja Hatta Rajasa dari
Zulkifli yang didukung Amien Rais memupus harapannya untuk kembali
menjadi ketua umum. Perubahan ketua umum inilah yang membuat PAN
akhirnya menyeberang ke kubu KIH dan lagi2 membuat konsistensi sikapnya
harus dipertanyakan.
Meskipun di dunia politik terdapat istilah
tidak ada kawan atau lawan yang abadi, namun konsistensi sikap menurut
pendapat saya wajib ada. Kecuali ada suatu hal yang kemudian
bertentangan dengan norma hukum bolehlah kita memutuskan suatu ikatan.
Namun pada kasus ini, saya melihat meskipun ada dua kubu yang
berseberangan yaitu KMP dan KIH, tidak ada alasan yg kuat bagi anggota
salah satu koalisi utk menyeberang. KMP sebagai penyeimbang di
legislatif tidak pernah melakukan tindakan yang mengganggu Pemerintahan
sebagaimana Kubu KIH di pemerintahan yang menurut pendapat saya juga
sudah berbuat sebaik mungkin untuk kepentingan rakyat. Jadi, di kubu
manapun anda berada sebenarnya tidak masalah, toh sama2 berjuang untuk
kemakmuran bangsa. Yang tidak elok hanyalah ketika anda sering berganti
baju.
--Sudah 1 Bulan 7 hari di Bumi Blambangan--