Lelaki yang duduk di depanku aku taksir berumur 29 tahun, berambut lurus, kulitnya putih , dan postur nya tidak terlalu tinggi, dengan tahi lalat di ujung bibirnya. Dia menatapaku seraya membolak balikkan kartu remi yang aku tak tahu maksud tujuannya. Aku tersenyum menyeringai seraya terus memperhatikan permainannya. Itu bukan permainan poker atau chapsa yang biasa aku mainkan bersama teman2 kantorku. Juga bukan permainan 41 yang sering aku mainkan di waktu kecil. Dia terus mengocok kartu yang dia pegang sembari menaruh beberapa buah kartu dengan posisi terbuka. Dia terus menggumam lirih dengan bahasa2 yang tidak aku kenal. Badanku bergetar di setiap dia membuka kartu remi serta semakin mengigil tak karuan. Aku coba bertahan dan tak beranjak sedikitpun dari tempat itu akibat rasa penasaranku yang terus berkecamuk.
Hampir dua jam aku tak beringsut dari tempatku, dan lelaki muda itu terus mempermainkan kartunya.Sekarang semua kartu telah tertata rapi di depanku. Tertata empat2 sehingga terdapat 13 baris kartu yang terbuka. Gumaman lelaki itu semakin keras dan terdengar jelas dia menyebutkan namaku dan tanggal lahirku. Aku hanya bisa terdiam dan berusaha menajamkan indera pendengarku agar semakin banyak informasi yang bisa aku dengar dari gumamannya. Selang beberapa menit dia diam sejenak. Menutup matanya, kemudian membuka dan memandang tajam ke arahku. Aku kaget, tatapannya sungguh tajam. Aku beringsut mundur beberapa senti seakan tak kuasa menahan tatapan tajamnya. Bola matanya lambat laun berubah merah sedangkan putih matanya berubah menjadi warna jingga cerah. Aku tertegun berusaha teriak namun tak mampu.
Aku terus menunggu apa yang akan dia perbuat padaku, badanku semakin mengigil dan kepalaku pening,. Tak berapa lama dia mulai berbicara. Dengan suara yang agak tersedak namun dalam, dia mulai berbicara. Dengan tak beralih dari kartu dia terus mengoceh. Seakan2 sebuah rekaman atas perjalanan hidupku dia terus bercerita. Semua yang dituturkannya merupakan kejadian2 yang pernah menimpaku. Dia menyebut nama Almarhum Ayahku, nama ibuku, jumlah saudaraku, berapa kali aku pacaran hingga hal2 lain yang menurutku hanya Aku yang mengetahui kejadian tersebut. Aku semakin bingung, sedangkan dia tetap menatap kartu dengan terus mengoceh menceritakan detail kejadian yang seakan terpampang di kartu remi itu. Aku menutup kedua telingaku dengan kedua tanganku agar tak mendengar apa yang dia katakan,. Namun suara itu seakan tetap menembus dinding telingaku. Aku mencoba berdiri, namun tak bisa.
Antara rasa kagum, takut, panik, dan resah menyelimuti diriku setiap dia berbicara detail kehidupan yang pernah aku jalani. Pada suatu jeda, dia menatapku tajam, kemudian melanjutkan dongeng iblisnya. Aku semakin panik ketika dia mengatakan melihat masa depanku yang cerah namun banyak rintangan. Dia mengatakan dalam waktu dekat aku akan pindah dari kantorku yang sekarang. Dia juga menebak ttg isi hatiku yang menaruh hati pada Gadis manis berjilbab yang aku temui dalam perjalanan pulangku. Menebak kapan aku menikah, mempunyai putera dan kapan aku menjadi kepala kantor. Dia terus bercerita mengenai masa depanku. Aku semakin panik, dan dengan sekuat tenaga aku berusah teriak. Teriak sekencang2nya. Aku benar2 takut, apalagi tatapan matanya semakin tajam dan menyeramkan. Dengan tetap bersila badannya mulai melayang. berputar mengelilingi aku dengan tetap bercerita ttg masa depanku. Aku teriak meskipun tak terdengar sedikitpun suaraku. Suaranya semakin nyaring dan membuat telingaku sakit tak terperi. Mataku berkunang2 dan ambruk tak sadarkan diri. Aku terbangun dengan bersimbah peluh. Aku tatap sekelilingku, sepi tak ada apapun, namun lantai bekas dia duduk terasa panas dan tak biasa.
----Rimbun Bambu, 15 Januari 2011----
Aku terus menunggu apa yang akan dia perbuat padaku, badanku semakin mengigil dan kepalaku pening,. Tak berapa lama dia mulai berbicara. Dengan suara yang agak tersedak namun dalam, dia mulai berbicara. Dengan tak beralih dari kartu dia terus mengoceh. Seakan2 sebuah rekaman atas perjalanan hidupku dia terus bercerita. Semua yang dituturkannya merupakan kejadian2 yang pernah menimpaku. Dia menyebut nama Almarhum Ayahku, nama ibuku, jumlah saudaraku, berapa kali aku pacaran hingga hal2 lain yang menurutku hanya Aku yang mengetahui kejadian tersebut. Aku semakin bingung, sedangkan dia tetap menatap kartu dengan terus mengoceh menceritakan detail kejadian yang seakan terpampang di kartu remi itu. Aku menutup kedua telingaku dengan kedua tanganku agar tak mendengar apa yang dia katakan,. Namun suara itu seakan tetap menembus dinding telingaku. Aku mencoba berdiri, namun tak bisa.
Antara rasa kagum, takut, panik, dan resah menyelimuti diriku setiap dia berbicara detail kehidupan yang pernah aku jalani. Pada suatu jeda, dia menatapku tajam, kemudian melanjutkan dongeng iblisnya. Aku semakin panik ketika dia mengatakan melihat masa depanku yang cerah namun banyak rintangan. Dia mengatakan dalam waktu dekat aku akan pindah dari kantorku yang sekarang. Dia juga menebak ttg isi hatiku yang menaruh hati pada Gadis manis berjilbab yang aku temui dalam perjalanan pulangku. Menebak kapan aku menikah, mempunyai putera dan kapan aku menjadi kepala kantor. Dia terus bercerita mengenai masa depanku. Aku semakin panik, dan dengan sekuat tenaga aku berusah teriak. Teriak sekencang2nya. Aku benar2 takut, apalagi tatapan matanya semakin tajam dan menyeramkan. Dengan tetap bersila badannya mulai melayang. berputar mengelilingi aku dengan tetap bercerita ttg masa depanku. Aku teriak meskipun tak terdengar sedikitpun suaraku. Suaranya semakin nyaring dan membuat telingaku sakit tak terperi. Mataku berkunang2 dan ambruk tak sadarkan diri. Aku terbangun dengan bersimbah peluh. Aku tatap sekelilingku, sepi tak ada apapun, namun lantai bekas dia duduk terasa panas dan tak biasa.
----Rimbun Bambu, 15 Januari 2011----