Rabu, 16 Februari 2011

Wihara Di Ujung Tanjakan.. (15 Feb 2011)

Suara ketokan keras di pintu kamarku, membuyarkan tidur pendekku malam ini. Ku tatap sayu jam di walpaper HPku yang ternyata telah menunjukkan pukul 05.50 pagi. Daviq, adik kelasku dulu waktu kuliah dan sekarang menjadi teman kerjakulah yang ternyata membangunkanku. Bukan tanpa alasan dia membangunkan diriku pagi ini. Acara rutin di setiap waktu libur di saat kami tak pulang kampung, yaitu bersepeda seakan menjadi acara wajib yang tak boleh terlewatkan. Dengan mata yang masih mengantuk karena tidurku yang hanya 5 jam, ku sahuti panggilannya dengan lirih sebagai penanda bahwa aku telah bangun. Dan setengah sadar aku katakan pada dia untuk menungguku di kantor.
Setelah mandi ala kadarnya dan memakai perlengkapan bersepeda aku segera menyusul ke kantor, tempat berkumpul kami. Entah apa yang terjadi, rombongan baru lengkap setelah jarum jam menunjukkan pukul 07.00, sungguh suatu kejadian langka. Rombongan yang berkumpul hanya terdiri dari 6 orang, yaitu Daviq, Yudha, Isman, (Mbak) Marleni, (mas)saiful, dan aku, arai. Karena Putri akan menunggu kami di Perempatan jalan yang menjadi rute kami, begitupun dengan mas Andi Pramono yang akan menunggu kami di jalan tak jauh dari rumahnya. Ku tatap wajah sahabat2ku yang memancarkan semangat yang menyala yang sungguh sangat kontras dengan kondisi Blitar pagi ini, yang dingin dan angin yang mengarak awan sehingga mendung bergelantung siap menurunkan isinya. 
Hari ini kami merencanakan bersepeda ke luar kota Blitar, tepatnya ke kecamatan Wlingi yang berjarak 30 km dari kota Blitar dan masuk dalam wilayah administratif kabupaten blitar. Tujuan kami adalah mengunjungi lokasi rafting untuk sekedar melihat suasana dan kederasan alirannya. Dimana lokasi rafting itu sendiri berjarak sekitar 20 km dari pusat kec wlingi dengan medan tanjakan. Putri akhirnya bergabung dengan kami setelah kami menungu beberapa saat di tempat yang telah ditentukan. Untuk menghemat tenaga, akhirnya kami sepakat dari Blitar ke stasiun wlingi menaiki Kereta Penataran pagi. Namun, dasar sedikit sial, ternyata sesampainya di stasiun Blitar, ternyata penumpang kereta sangat banyak dan itu berarti cukup riskan jika memaksakan naek kereta api. Setelah berpikir keras akhirnya kami memutuskan untuk mengggunakan bis. 
Perempatan Jalan Kenari akhirnya menjadi titik nol km perjalan kami sesungguhnya. Jam menunjukkan pukul 08.00 dan kami belum mendapatkan bus untuk kami tumpangi. Entah ide darimana, mas saipul begitu biasa kami panggil tiba2 menghentikan truk dan melakukan tawar menawar. Dan jadilah truk tebu sebagai sarana transportasi kami di hari ini. Terpontang panting di bak truk, dan baju menjadi sedikit kotor karena bersenggolan dengan dinding bak truk, menjadi semacam lelucon dan guyuan yang riang. Satu kata untuk momen ini.. NGUAWUR..
Mas Andi Pramono sudah menunggu kami ketika kami turun dari truk tebu. Seraya tertawa melihat kami belepotan tanah bekas tebu, beliau membantu kami menurunkan sepeda2 kami. Kruyukan karena belum sempat sarapan ternyata tak mengurungkan niat kami untuk tetap menggenjot sepeda kami di jalan aspal nan bertanjak. Tanjakan yang benar2 panjang dengan kemiringan hampir  35 derajat bukanlah merupakan medan yang mudah untuk dilewati. Dan ini adalah kegiatan bersepadaku untuk pertama kalinya setelah hampir satu bulan vakum karena penyakit yang menyerangku. 
Dalam rombongan kami Mbak Marlenlah yang paling senior. Marleny Damayanti nama lengkapnya. Perawakannya yang kecil dan sedikit kurus kerap membuat orang salah menilai tentang ketahanan daya tubuhnya. Sebagai anggota STAPALA ketika dia kuliah dulu, hampir semua Gunung di Republik ini tlah dia jelajahi. Sungguh tak ada duanya  beliau di kantor kami untuk urusan mendaki gunung dan mengembara ke tempat2 ekstrim. Dan dengan sepeda foldingnya beliau tak pernah mengenal lelah dalam bersepeda. Mas Andi adalah sosok senior kedua dalam rombongan kami, murah senyum dan banyak ide gila menjadi ciri khasnya. Sama dengan mbak marlen, beliau juga aktif dalam keanggotaan STAPALA ketika masih kuliah. Selanjutnya adalah mas saipul, sebagai orang asli Blitar, dia sangat kami andalkan dalam hal mencari objek2 baru untuk kami kunjungi. Mas Yudha adalah anggota rombongan kami selanjutnya, dia adalah penggagas BLIKERS 653 di kantor kami. Dan yang memelopori kegiatan bersepada di kantor kami. Isman dan Daviq, kedua orang ini adalah teman sekosanku. Keduanya pernah bersepeda dari Blitar-Sidoarjo hanya dengan waktu sekitar 10 jam, benar2 teman yang hebat. Putri adalah yang temuda dalam rombongan kami, dan mengatakan inilah pengalaman pertamanya bersepeda sejauh dengan medan seekstrim ini. Sedangkan aku, hmmmm, tak usahlah aku mengenalkan diriku sendiri, cukup kalian panggil aku Arai.
Hampir satu setengah jam kami bersepeda di jalan menanjak dengan jarang sekali jalan mendatar. Ku lihat putri dan mbak marlen, cewek di rombongan kami sudah mulai kewalahan. Jelas terlihat dari kayuhan dan tatapan matanya kedua cewek itu, terutama putri sudah mulai kewalahan. Sepeda folding yang dikendarai mbak marlen jelas bukan merupakan kendaraan yang tepat untuk jalan semenanjak ini. Sedangkan putri, kredit khusus karena inilah pengalaman pertamanya. Pemandangan alam yang masih asri dengan persawahan model punden berundak laksana di bali, menjadikan bonus tersendiri dalam perjalanan kali ini. Aliran sungai yang lumayan jernih dan deras serta kehidupan khas orang desa membuat perjalanan kali ini benar2 mampu memberikan pesona yang mengikat. Di km ke 7 kami sejenak berhenti, sedikit menghilangkan lelah dan mengabadikan keindahan alam pedesaan dan pegunungan. Dengan roti yang masih di mulutnya, tiba2 mas yudha menyeletuk dan mengatakan bahwa di desa seberang ada sebuah wihara yang sangat besar dan terkenal hingga ke mancanegara. Sontak, kami yang memang sangat tertarik terhadap sejarah, mengusulkan agar berkunjung saja ke tempat itu dan membatalkan kunjungan kami ke tempat rafting. Ya, sebuah wihara di desa Balerejo-Kec Wlingi akhirnya menjadi tujuan kami.
Perjalanan ke Wihara itu tak ada bedanya dengan perjalanan ke lokasi Rafting yang tak jadi kami singgahi. Tanjakan dengan tikungan berliku khas daerah pegunungan adalah jalur yang harus kami lalui. Namun pemandangan kini lebih bervariasi, mulai dari rumah penduduk pedesaan, hutan, sungai, sawah dengan punden berundak, hingga jurang dan tebing menjadi panorama alam yang membuat kami berdecak kagum.  Tak ketinggalan Gunung Kelud yang tertutup kabut putih menjadi sosok yang menyaksikan derap roda kami. Anak2 kecil yang melihat rombongan kami berteriak girang, bertepuk tangan dan menyambut kami layaknya para rombongan balap sepeda tour de Indonesia. Benar2 hiburan yang membuat kami tertawa riang. Entah sudah berapa tikungan kami lewati, yang jelas kaki sudah mulai penat. Kedua cewek dalam rombongan kami sudah mulai terlihat sangat kepayahan. Terkadang ketika tanjakan benar2 ekstrim yaitu sekitar 35 derajat, mereka menuntut sepedanya. Kami, hanya bisa menyemangati untuk tetap fight, sambil sekali di ujung tanjakan mengabadikan kelelahan mereka.
Untuk mengatasi kelelahan, kami bercanda, tertawa riang menertawakan satu sama lain, atau terkadang beradu cepat di jalan menanjak. Lima km lagi nak, jawab penduduk desa yang kami tanyakan mengenai seberapa jauh lagi perjalanan kami. Padahal lebih dari 2 jam kami telah mengayuh sepeda. Dan akhirnya diujung tanjakan sekali lagi benar2 di ujung tanjakan, di tempat tertinggi dusun ini, kami temui sebuah wihara besar dan megah. takjub, sedikit tak percaya akan keberadaaan sebuah wihara yang katanya merupakan yang terbesar di Indonesia ini berada di desa yang terpencil ini. Luas bangunan utama wihara ini hampir 3 kali 1,5 kali luas lapangan bola, belum lagi luas pelataran yang terdapat rumah2 bersemedi, aula, dan tempat2 untuk melakukan ritual keagamaan lainnya,. Total, aku menaksir luas keseluruhan lahan yang digunakan hampir 3 hektar. Wihara ini dikelilingi pagar dengan bentuk laksana tembok china, ornamen2 bangunannya mengingatkan aku akan film Return the condor heroes yang diperankan Andy Lau sebagai yoko. Nuansa eknik tionghoa bercampur tibet dan india benar2 kental terasa di Wihara yang dibangun sekitar tahun 1990an ini. Tempat tertingggi di desa ini dipilih karena secara ritual keagamaan mereka, beribadah di tempat yang tinggi membuat do'a mereka lebih cepat terkabul karena dekat dengan nirwana/kahyangan, tempat dewa2 mereka. Setiap tahunnya banyak biksu2 bersemedi di tempat ini. Baik itu dari wilayah Indonesia maupun dari luar Indonesia seperti Tibet, Thailand, Kamboja, dll.
Dari perataran parkir, kami bisa melihat keindahan alam Blitar yang khas. Rumah2 penduduk terlihat kecil dan samar di nun jauh di sana. Gunung Kelud di arah utara, tampak berdiri kokoh hampir sejajar dengan puncak bangunan utama wihara. Sayang, kami tak bisa masuk untuk melihat2 di bangunan utama wihara itu. Penjaga beralasan bahwa tempat itu adalah tempat ibadah yang tak bisa sembarangan dimasuki untuk kepentingan selain beribadah.
Sekitar pukul 10.30 kami memutuskan untuk pulang, kami mengambil jalan yang berbeda dengan biasanya yaitu mengambil jalan balero-wlingi via desa plumbangan kec doko, kab blitar. Jalurnya yang lebih panjang dengan turunan dan tikungan yang lumayan menantang, benar2 sebuah hadiah dari perjuangan berat mengatasi tanjakan di waktu berangkat. Dengan kecepatan nyaris 60 km/jam, kami melintasi jalan yang berliku turun ini. Tak sampai 30 menit kami tlah sampai di wlingi. Mencari warung makan untuk sekedar mengisi kekosongan perut kami lakukan setibanya di Wlingi. Kami sengaja tak memesan makanan berat seperti nasi, karena Mas Andi Pramono tlah menyiapkan hidangan spesial di rumahnya. Lepas dari warung, kami segera mengayuh sepeda kami menuju rumah Mas Andi yang berjarak 6 km dari tempat kami makan.
Benar, di rumah Mas Andi telah tersedia begitu banyak makanan lezat seperti pisang goreng, klepon, dan jajanan pasar yang benar2 menggoda selera. Makan siang dengan menu lele dan urap yang lezat ditambah memang sedari pagi perut kami tak menyuntuh nasi, membuat makan kami sangat lahap. Nyaris satu setengah jam, kami berada di rumah Mas Andi. Ketika jam menunjukkan pukul 13.00, kami bergegas pulang.
Makan pagi di waktu siang ternyata tidak benar2 mengembalikan tenaga kami seperti sedia kala, namun, kami tetap harus pulang. Seraya mengayuh menyusuri jalan setapak, kami berdiskusi tentang cara kami pulang, apakah menyegat truk seperti waktu kami berangkat atau terus mengayuh. Melihat kondisi kedua teman kami yang cewek, akhirnya kami memutuskan untuk mencegat truk di jalan utama biasa angkutan umum lewat. Sial, ditengah panas terik matahari yang bersinar tak ada truk kosong yang berhasil kami cegat. Akhirnya dengan sisa tenaga yang ada, dengan ditemani guyuran sinar matahari yang panas, kami terus mengayuh sepeda kami melintasi jalan wling-blitar. Jarak 30 km dari rumah Mas Andi ke kantor kami sebenarnya bukan tantangan yang terlalu berat bagi kami, tapi mengingat perjalanan yang tlah kami tempuh dan waktu saat ini yang telah menunjukkan pukul 13.00, jelas perjalanan pulang ini benar2 bukan merupakan perjalanan yang mudah. Beruntung, jalan yang kami lalui cenderung datar dan hanya sedikit tanjakan.
Sedikit tak tega sebenarnya melihat mbak marleny dengan sepeda foldingnya, dan putri yang baru pertama kali ikut rombongan kami. Bagaimana tidak, sepeda folding yang pendek jelas memberikan tambahan beban yang ekstra karena setiap kayuhan yang dilakukan hanya memberikan efek gelinding yang kecil dibanding sepeda gunung biasanya. Namun, bukan mbak marleny kalau menyerah, staminanya yang kuat benar2 membuat kami berdecak kagum, begitupun dengan putri. Bahkan di jalanan yang terik kami masih sanggup bercanda, balapan, dan tertawa kegirangan. Benar-benar sebuah kebersamaan yang tak kan terlupakan. Sampai di kantor sekitar pukul 14.30an, itu berarti Wling-Blitar yang berjarak 25an km kami tempuh dengan waktu sekitar 1,5 jam. Sebuah catatan waktu yang tidak terlalu buruk.
Wajah bahagia dan penuh kemenangan terpancar di wajah kami setibanya di kantor Sebuah perjalanan yang melelahkan dengan keunikan tersendiri kami ceritakan satu sama lain. Banyak hal yang kami petik, selain kebersamaan, tentu saja sebuah pelajaran berharga tentang jangan pernah mudah menyerah dengan sebuah halangan atau tantangan. Karena pada dasarnya setiap kita pasti mampu mengatasi setiap tantangan, hanya terkadang kita malas untuk memulai usaha dalam rangka mengatasi tantangan itu.


*Hari ini, 15 februari 2011 bertepatan dengan ulang tahun Daviq. Selamat ulang tahun aku ucapkan teman, semoga sukses dunia akhirat.